Globalisasi Mengancam Budaya Papua
By amaatenai - Kamis, 23 April 2015
Neil Postman pernah memperingatkan, saat kehidupan cultural
didefinisikan kembali sebagai arus hiburan tanpa henti, bila wacana serius
publik, seperti agama, kemanusiaan, ketidakadilan, telah menjadi sebentuk
ocehan bayi dan acara televisi telah menjadi substansi dari agama, maka sebuah
bangsa akan berada ditepi jurang kematian kebudayaannya (Wibowo Fred:2007:11)
Globalisasi merupakan fenomena sosial-budaya yang dengan
cepat merubah pola hidup manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Globalisasi
pun menawarkan kepuasan individual dan golongan yang semakin menekan
pengambilan keputusan dengan resiko yang sangat riskan. Keputusan tanpa
pertimbangan matang, yang berdampak pada terancamnya keberadaan sebuah
kebudayaan asli. Semisal, keputusan melalui kesombongan teknologi, ekonomi,
politik, yang secara berangsur dapat dengan mudah menggeser nilai-nilai
budaya/tradisi asli.
Suku-suku di Papua sedang mengalami geger budaya atau bukan
tidak mungkin. Banyak studi atau penelitian membuktikan bahwa dibalik kemajuan
pembangunan di Papua, pada saat yang sama, suku-suku di Papua yang tidak kuat
dan kurang beradaptasi terhadap perubahan yang berlangsung cepat di wilayahnya,
sedang mengalami geger budaya. Geger budaya sejak industri-industri masuk ke
wilayah Papua, bahkan saat ini semakin intensif, menunjukkan sebuah perubahan
sosial-budaya yang sangat drastis. Perubahan tersebut dapat terlihat dari
bagaimana masyarakat Papua telah mengenal teknologi modern dalam kurun waktu 3
dekade. Teknologi modern memberikan sebuah perubahan baru dalam kehidupan
masyarakat Papua dan fenomena ini, kini sedang menjadi sebuah pergulatan dalam
masyarakat Papua, bahwa bagaimana mereka dapat menerima kebudayaan baru, yang
datang dari luar lingkungannya, tanpa mengalami pergeseran nilai budaya asli,
yang pastinya akan berdampak pada tatanan hidup mereka.
Budaya lokal berada pada posisi terancam. Budaya lokal
bertahan atau bergeser tergantung pada legitimasi adat, komunitas/suku-suku
yang berada di Papua sebagai penganut dan pelaksana budayanya. Komunitas adat
yang lemah pastinya akan berdampak pada gegernya nilai-nilai baik dari
komunitas local itu. Komunitas lokal yang kuat pasti akan mempertahankan
nilai-nilai hidup baik sekali pun arus golobalisai atau indutrialisasi
mengerogoti ketahanan budaya.
Hasil kajian yang dilakukan FISIP Universitas Airlangga
(2010) bahwa kenyataan tidak menjawab apakah komunitas atau suku-suku di Papua
umumnya dan khususnya di pedalaman Papua sudah siap untuk mempertahankan
nilai-nilai budaya Asli/Lokal setempat (Kompas, 03/11/11). Jawaban atas
kenyataan tersebut diperkuat dengan adanya fenomena yang sedang terjadi dan
mengarah pada pergeseran nilai budaya asli. Fenomena pergeseran nilai budaya
asli tersebut dapat timbul akibat kebijakan-kebijakan pembangunan yang tidak
berpihak kepada masyarakat Papua tanpa mempertimbangkan adanya hak-hak cultural
warga negara yang harus dilindungi dan dihormati yang di dalamnya terdapat
unsur legitimasi Adat. Misalnya, kehadiran dan keberadaan perusahaan-perusahaan
lokal, nasional dan multiinternasional yang ada, misalnya; PT. Freeport
Indonesia Mc moran, sebagai pihak yang mengelola pertambangan emas di wilayah
kabupaten Timika. PT. British Petroleum yang mengelola gas dan minyak bumi di
Bintuni. PT. Rajawali, PT.PN II Arso yang mengelola minyak kelapa sawit di
kabupaten Keerom/Arso.
Keberadaan dan kehadiran perusahaan-perusahaan tersebut
telah mengeksploitasi sumber daya alam Papua secara besar-besaran. Ekplorasi
itu mengakibatkan rusaknya ekosistem alam. Rusaknya ekosistem laut akibat
pembuangan limbah, suku-suku asli kehilangan Hak Ulayat dan mata pencaharian
akibat ilegaloging, tambang dan perusahaan kelapasawit yang membabat habis
hutan sagu.
Fenomena demikian menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan
pembangunan di Papua sebenarnya tidak mengandung unsur/nilai penting dari kata
“kebijakan” itu sendiri. Kebijakan pembangunan, tidak semata-mata hanya sebuah
label saja, melainkan bagaimana menempatkan atau memberikan sebuah solusi
terbaik yang benar-benar mempertimbangkan kebutuhan masyarakat di Papua dengan
porsi yang seadil-adilnya tanpa ada diskriminasi.
Kebijakan-kebijakan pembangunan yang demikian dapat juga
diinterpretasikan mengandung unsur legitimasi industrialisasi. Legitimasi industri cenderung memicu
terjadinya tindak kekerasan antara masyarakat Papua dengan pihak Aparat, aparat
dengan aparat dan yang lebih disesalkan lagi bahwa kekerasan itu terjadi di
antara sesama masyarakat Papua. Pada skala ini, norma-norma adat setempat tidak dapat lagi memecahkan
masalah-masalah/persoalan yang akan dihadapi oleh penduduk atau masyarakat
Papua, terkait juga, misalnya soal sengketa tanah adat atau hak ulayat.
Fenomena ini semakin menjelaskan bahwa keberadaan industri
memberi dampak semakin melemahnya legitimasi Adat-istiadat dan tradisi
masyarakat Papua yang dengan mudah, dapat dimanfaatkan pada momen-momen
tertentu untuk kepentingan beberapa pihak semata. Misalnya, kepentingan kaum
pemodal dan politikus yang raskus kekayaan dan jabatan. Melemahnya legitimasi
adat itu sangat terlihat lagi dari perilaku anak muda. Anak muda Papua tegelam
dalam Budaya Massa. Kata mereka yang tegelaman itu “cuek is the best”. Cuek terhadap sorotan, tuduhan dan harapan kaum
tua kepada kaum mudah sebagai generasi pewaris nilai-nilai budaya asli. Sikap
cuek ini mengungkapkan bahwa globalisasi cukup memberikan potensi yang sangat
signifikan dan mampu mempengaruhi kehidupan anak muda Papua dewasa ini. Kaum
mudah Papua mengikuti gaya selebritis media massa seperti, Televisi, Internet,
Telepon Seluler (Hp), dan lain sebagainya.
Kondisi ini sebagai pertanda bahwa telah terjadi perubahan
yang mengarah pada pergeseran penggunaan dan pemaknaan budaya asli, misalnya
dalam penggunaan dan pemaknaan “bahasa tanah” atau “bahasa ibu”. Apabila
diperhatikan pada kalangan kaum muda Papua, bahasa “tanah” atau bahasa “ibu”
tidak lagi menjadi sarana komunikasi yang rutin di gunakan dalam pergaulan
keseharian mereka. Artinya bahwa “bahasa tanah” atau “bahasa ibu” yang dulunya
sebagai sarana pengikat sebuah kekerabatan yang sarat makna dalam konteks
budaya setempat, tidak praksis lagi untuk dipergunakan.
Pergeseran ini terjadi karena kurangnya internalisasi
budaya. Kurangnya pemahaman ini membuat anak-anak muda Papua pun terkadang acuh
dan cenderung berasumsi bahwa misalnya bahasa Korea atau Bahasa Inggris dengan
aksennya atau bahasa gaul yang sering mereka istilahkan adalah bahasa-bahasa
yang jauh lebih baik dan menjadikan mereka merasa lebih modern, mungkin lebih
manusiwi atau statusnya lebih berada ketimbang mengunakan bahasa ibu.
Di samping bahasa, tak bisa dipungkiri juga bahwa anak-anak
muda Papua sedang berada dalam dinamika yang terkadang tak bisa dihindari
karena mengadopsi gaya hidup modern dengan gaya atau mode berpakaian yang
ke-“barat-barat”-an, berdansa dan berpakaian dengan gaya yang sering terlihat
di televisi yang mungkin sering mereka tonton yang lazimnya dianggap tidak
etis, kini tampak lebih etis. Sebaliknya tarian adat, lagu-lagu, ritual-ritual
adat/ritus-ritus daerah seperti; goyang pantat, perang-perangan, tarian
pinggul, toki tifa, wene pugut, awanni, waita, yospan, tumbuk tanah, menganyam
noken, membuat kebun, pahat/ukir patung, tarian asmat, togok sagu, bakar
batu/barapen dan lain sebagainya tidak menjadi, semakin memudar dan pelan-pelan
semakin tersisih kemudian ditinggalkan dan hilang dengan sendirinya.
Sejumlah fenomena ini sedang dialami sebagian besar
masyarakat dan khususnya kaum muda pada suku-suku di Papua yang umumnya tengah
mengalami segregasi budaya akibat semakin terbukanya ruang terciptanya
pergeseran nilai-nilai budaya. Situasi ini sangat membahayakan eksisnya budaya
Papua di masa yang akan datang. Globalisasi seolah-olah bak penyakit kanker
yang tengah mengakar kesetiap jaringan tubuh manusia.
Modernisasi dan globalisasi yang menggerogoti nilai-nilai
budaya asli masyarakat Papua. Orang Papua menolak tidak akan menghentikan
proses yang sedang terjadi dan menerima atau terbuka adalah sebuah pilihan yang
tanpa dipaksakan akan tetap terjadi namun tergantung subyektifitas atau daya
saring dalam masyarakat Papua, karena hal tersebut semakin terkondisi dan lebih
parah lagi apabila dampak globalisasi terkonstruksi dalam masyarakat yang
akhirnya akan menggeser nilai-nilai budaya asli Papua. Menjadi riskan bahwa
terkadang representasi masyarakat terutama dikalangan anak muda terhadap budaya
baru cukup intens. Maka, perlunya penumbuhan sikap benar-benar memahami
struktur budayanya dan terlebih dalam konteks sebagai subyek karena terkadang
subyektifitas selalu diperhadapkan pada pilihan-pilihan yang cukup atraktif
atau lebih modern.
Regenerasi nilai-nilai budaya asli agar tidak hilang adalah
salah satu cara yang secara alamiah telah terbawa dan telah menjadi tanggung
jawab kaum muda Papua. Penerusan atau pewarisan nilai-nilai budaya sebaiknya
tidak dijadikan sebatas slogan terhadap keidentitasan sebagai masyarakat Papua,
misalnya dengan menggunakan pakaian adat, menyanyikan lagu dalam bahasa “tanah”
atau bahasa “ibu” ataupun sekedar melakonkan cerita zaman dahulu dalam sebuah
teater mini melainkan perlunya proses Internalisasi terhadap pemaknaan budaya
asli yang benar-benar mendalam. Proses Internalisasi yang dimaksud adalah
proses dimana kesadaran cultural yakni kesadaran nalar dan batin dapat dibangun
agar terjadi keseimbangan. Jika tidak, maka pewarisan tersebut hanya akan
bersifat mentransplantasi ke anak-anak dan generasi muda dan hal tersebut tidak
akan bertahan lama, kemudian akan hilang bersama waktu atau kasarnya budaya
tersebut hanya akan menjadi sejarah. Tentunya hal tersebut bukan harapan
seluruh masyarakat adat Papua yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya
asli Papua, maka hal terpenting yang mestinya dilakukan adalah tidak hanya
sekedar menjaga atau mempertahankan dan lebih dari pada itu menjadi subyek agar
keberadaan nilai-nilai kebudayaan asli tidak hilang atau mati dan hal itu
menjadi tanggung jawab semua pihak yang ada dan berada di Papua.
*Mahasiswa program Magister Antropologi UGM Yogjakarta
Follow our blog on Twitter, become a fan on Facebook. Stay updated via RSS
0 komentar for "Globalisasi Mengancam Budaya Papua "